Namamu Intan
(sebuah kisah ketidaksepadan cinta seorang GURU yang berniat membahagiakan)
“kamu kerja apa nak?” ucap ibunya ketika saya saya baru di duduk kursi mewah rumahnya. “aku seorang guru tante”, jawabku dengan nada yang agak pelan seakan tak percaya diri. “guru” sergah ibunya. Kau yakin mau menjalani hubungan yang serius dengan anak saya?, kau tak merasa salah pilih kan?. Pertanyaan-pertanyaan beruntun yang tak menyediakan pilihan jawaban berganda semakin merumitkan pikiranku untuk menjawab satu diantaranya. sejenak aku memilih diam saja. Tetapi ibunya seolah tak mau berhenti berbicara. Selalu saja menambah pertanyaan dan juga pernyataan-pernyataannya.
Sehingga sampailah dimuara pernyaatannya, sebuah runtunan kata yeng menurut penyederhanaan maknanya adalah penolakan halus yang berbunyi ‘ anak itu seorang dokter, dan saya rasa profesinya tidak sepadan dengan profesimu, yah walaupun kamu juga seorang guru PNS nak’. Halus sekali penutup tururnya.
aku merasa kursi empuk berwarna merah yang kududuki ini terasa tak nyaman untuk ukuran aku yang hanya seorang guru. Hari itu aku semakin membuka mata, bahwa memang sebenarnya perbedaan profesi juga adalah salah satu bentuk kesenjangan yang nyata. Dan dia tak mampu menolong cinta di suatu waktu. Seperti pada waktu di hubungan kita ini. Kamu dr. Intan Islamiyah Nanda, kita berdua harus sama-sama memahi. Bahwa cinta kita itu tak cukup hanya dalam bentuk penyatuan rasa Serta keingin kita berdua untuk melangkah ke jenjang serius.
Namun takdir kisah kita berdua lebih kepada latar belakang akademis yang berujung kepada profesi yang berkesenjangan. Flashback dihari sebelum aku jadi berani datang ke rumahmu itu . Kau yang memintanya. memintaku menghadap ibumu. Dan aku masih ingat kata darimu yang menjadi sugesti motivasi tersendiri
bagiku untuk benar-benar berani datang ke rumahmu.” Kak Kita berdua kan sudah kurang lebih enam tahun berasama, dan juga kita berdua sudah sama-sama kerja. Mungkin sudah saatnyalah kakak datang ke rumahku” ucapan indahmu di sore yang gerimis penghunung november itu. Dan iya, bahwa Memang kita bersua tak ada salahnya terniat menuju ikatan yang direstui.
Namun mungkin setelah ini akau mulai belajar, kalau profesi guru pegawai negeri yang ku sandang tidak bisa meleburkan kilau megahnya gelar doktermu. sehingga saya pun berharap mudah-mudahan sandiwara hidup yang secara nyata kita lakonkan berdua ini tak pernah dialami oleh dua insan yang juga saling mencintai di belahan bumi lainnya. Aku bisa saja memerdekaan cintaku. Juga bisa saja membuatmu terpisah dengan ibumu. Namun aku sadar aku juga punya ibu dan adik perempuan yang tak kalah cantik darimu, hingga kini aku mencoba berdamai dengan kegagalan pertama. Iya, aku tak boleh terhenti mencari intan yang lain kisahku selanjutnya.
Dan kau?, kau cantik, kau anggun dalam kesahajaanmu. Kau juga punya Ibu terbaik. Dia jaksa penuntut terbaik untuk kesempurnaan calon imammu kelak. Dan pada kakinyalah surgamu berada. Jangan kecewakan dia. Jangan kecewakan dia. Dan tak perlu juga meampakkan air mata yang tak apa pernah sanggup meyelamatkan kisah kita.
Yang bisa kukatakan aku sangat mencintai profesiku. Guru. Profesi sempurna untuk aku yang cinta akan peradaban dalam kemanusiaan. Juga kamu dengan dua huruf gelar muliamu bagiku. Aku percaya kamu cinta profesimu. Juga ibumu. Jadilah seseorang yang dapat memberikan motivasi hidup bagi mereka yang tak ingin saling meninggalkan. Karena kesakitan dari peninggalan itu sifatnya abadi. Walaupun ada seribu bahasa serta gaya sandiwara bahagia yang bisa ditampakkan untuk meyembunyikannya. Namun meninggalkan dan ditinggalkan itu tetap berlabuh di kata kehilangan. Semua orang tak ingin mengalami itu. Apalagi kehilangan itu tentang cinta.
Terima kasih untuk kisah kita. Aku janji akan menulisnya. Dan kini benar-benar aku menulisnya.
(22 September 2016. Papua, Pulau Yos Sudarso)
Mike Rio $ @mr._ahmad_jais $.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar